Anikonisme dalam Buddhisme

Anikonisme pada penggambaran kejadian Mukjizat di Kapilavastu. Perwujudan Sang Buddha digambarkan dengan singgasana kosong dan pohon Bodhi.[1]

Sejak dimulainya studi serius tentang sejarah seni Buddhis pada tahun 1890-an, fase paling awal Buddhisme, yang berlangsung hingga abad ke-1 M, digambarkan sebagai fase anikonik; Sang Buddha hanya direpresentasikan melalui simbol-simbol seperti singgasana kosong, pohon Bodhi, kuda tanpa penunggang dengan payung yang melayang di atas ruang kosong (di Sanchi), jejak kaki Buddha, dan roda Dharma.[2]

Anikonisme dalam kaitannya dengan rupang Buddha ini sesuai dengan aturan aliran Buddhis kuno yang melarang untuk menampilkan penggambaran seni Sang Buddha dalam wujud manusia, yang diketahui dari vinaya aliran Sarvastivāda (peraturan kerahiban dari aliran Buddhis awal Sarvastivāda):

"Oleh karena tidak diperbolehkan membuat perwujudan tubuh Buddha, saya menyampaikan aspirasi agar Buddha mengabulkan perizinan untuk dapat membuat perwujudan Bodhisatwa pengiring. Apakah itu dapat diterima?" Sang Buddha menjawab: "Anda boleh membuat perwujudan Bodhisatwa".[3]

Meskipun masih ada perdebatan, representasi antropomorfik pertama dari Buddha sendiri sering dianggap sebagai hasil interaksi Buddhisme dengan budaya Yunani, khususnya di Gandhara, sebuah teori yang pertama kali dijelaskan secara lengkap oleh Alfred A. Foucher, namun dikritik sejak awal oleh Ananda Coomaraswamy. Foucher juga menjelaskan asal usul simbol anikonik itu sendiri dalam suvenir kecil yang dibawa dari situs ziarah utama sehingga dikenal dan dipopulerkan sebagai simbol peristiwa yang terkait dengan situs tersebut. Penjelasan lainnya adalah pandangan kuno yang menganggap bahwa penggambaran yang mewakili seseorang yang telah mencapai Nirwana merupakan suatu hal yang tidak pantas.[4]

Namun, pada tahun 1990, gagasan anikonisme dalam agama Buddha ditentang oleh Susan Huntington, yang memicu perdebatan sengit di antara para ahli yang masih berlanjut.[5] Ia berpendapat bahwa penggambaran adegan-adegan yang diklaim anikonik sebenarnya karena penggambaran tersebut tidak menggambarkan adegan yang fokus pada perwujudan Sang Buddha, melainkan fokus pada perwujudan tempat terjadinya adegan tersebut. Oleh karena itu, penggambaran singgasana yang kosong semata-mata menggambarkan singgasana peninggalan di Bodh Gaya atau di berbagai tempat lain. Dia menunjukkan fakta bahwa, sejauh ini, hanya ada satu sumber referensi tidak langsung terkait aturan anikonik dalam agama Buddha, dan referensi tersebut hanya berkaitan dengan satu aliran saja, yaitu Sarvastivāda.[2]

  1. ^ Marshall hal.58 Third Panel
  2. ^ a b S. L. Huntington, Early Buddhist art and the theory of aniconism, Art Journal, 49:4 (1990): 401–8.
  3. ^ Rhi, Ju-Hyung (1994). "From Bodhisattva to Buddha: The Beginning of Iconic Representation in Buddhist Art". Artibus Asiae. 54 (3/4): 220–221. doi:10.2307/3250056. JSTOR 3250056. 
  4. ^ Krishan, Yuvraj; Tadikonda, Kalpana K. (1996). The Buddha Image: Its Origin and Development (dalam bahasa Inggris). Bharatiya Vidya Bhavan. ISBN 978-81-215-0565-9. 
  5. ^ Lihat note 7 di sini untuk pembaruan mengenai kontroversi tersebut pada tahun 2007, dan di sini untuk pembaruan lainnya dari tahun 2001.

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search