Asketisisme

Sang Buddha menjalani asketisisme berat sebelum kelak mencapai pencerahan dan menganjurkan suatu jalan tengah yang tidak bersifat asketis.[1] Dalam agama Kristen, Fransiskus dari Assisi beserta para pengikutnya mempraktikkan asketisisme yang ekstrem.[2]

Asketisisme (dari bahasa Yunani: ἄσκησις áskesis, "olahraga" atau "latihan") atau pertarakan adalah gaya hidup yang bercirikan laku berpantang kenikmatan indrawi demi mencapai tujuan-tujuan spiritual. Para petarak (orang yang menjalani asketisisme) dapat saja menyepi dari keramaian dunia agar dapat bertapa brata. Mereka dapat pula hidup di tengah-tengah masyarakat, tetapi lazimnya mereka mengadopsi suatu gaya hidup yang sangat sederhana, yang bercirikan penolakan terhadap harta-benda dan kenikmatan-kenikmatan jasmani, serta melewatkan waktu dengan berpuasa sambil tekun beribadat atau sambil merenungkan perkara-perkara rohani.[3]

Asketisisme terbagi menjadi dua macam. "Asketisisme natural" (pertarakan yang wajar) adalah suatu gaya hidup yang membatasi aspek-aspek kebendaan dalam hidup sehari-hari sampai ke taraf yang sangat bersahaja dan pada batas minimum tertentu tetapi tanpa merusak tubuh atau hidup dalam keadaan sungguh-sungguh berkekurangan sehingga menyengsarakan tubuh, sementara "asketisisme tidak natural" (pertarakan yang tidak wajar) adalah suatu praktik yang melibatkan pula tindakan bermati-raga (mortifikasi badani) dan menyakiti diri sendiri, misalnya dengan tidur di atas ranjang paku.[4]

Sepanjang sejarah, asketisisme telah dipraktikkan dalam berbagai agama, antara lain agama Buddha, agama Kristen, agama Hindu, agama Jaina, dan agama Yahudi. Asketisisme tidak dipraktikkan dalam agama Islam mazhab utama, kecuali oleh sekte minoritas Sufi dengan tradisi lamanya yang juga meliputi pertarakan ketat.[5][6] Para praktisi asketisisme dalam agama-agama ini sengaja menampik kenikmatan-kenikmatan duniawi dan menjalani gaya hidup berpantang, demi mengejar penebusan dosa,[7] keselamatan, atau pencapaian rohani.[8] Dalam teologi-teologi kuno, asketisisme dipandang sebagai suatu perjalanan menuju transformasi rohani, yakni keadaan di mana bersahaja adalah berkecukupan, kebahagiaan sejati berada di dalam diri, dan berkekurangan adalah berkelimpahan[3]

  1. ^ Randall Collins (2000), The sociology of philosophies: a global theory of intellectual change, Harvard University Press, (ISBN 978-0-674-00187-9), halaman 204
  2. ^ William Cook (2008), Francis of Assisi: The Way of Poverty and Humility, Wipf and Stock Publishers, (ISBN 978-1-55635-730-5), halaman 46-47
  3. ^ a b Richard Finn (2009). Asceticism in the Graeco-Roman World. Cambridge University Press. hlm. 94–97. ISBN 978-1-139-48066-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-27. Diakses tanggal 2017-06-08. 
  4. ^ Vincent L. Wimbush; Richard Valantasis (2002). Asceticism. Oxford University Press. hlm. 9–10. ISBN 978-0-19-803451-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-16. Diakses tanggal 2017-06-08. 
  5. ^ Spencer C. Tucker (2010). The Encyclopedia of Middle East Wars. ABC-CLIO. hlm. 1176. ISBN 978-1-85109-948-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-16. Diakses tanggal 2017-06-08. 
  6. ^ Eric O. Hanson (2006). Religion and Politics in the International System Today. Cambridge University Press. hlm. 102–103. ISBN 978-0-521-61781-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-16. Diakses tanggal 2017-06-08. 
  7. ^ Vincent L. Wimbush; Richard Valantasis (2002). Asceticism. Oxford University Press. hlm. 247, 351. ISBN 978-0-19-803451-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-16. Diakses tanggal 2017-06-08. 
  8. ^ Lynn Denton (1992). Julia Leslie, ed. Roles and Rituals for Hindu Women. Motilal Banarsidass. hlm. 212–219. ISBN 978-81-208-1036-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-06. Diakses tanggal 2017-06-08. 

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search