Keris

Keris
ꦏꦼꦫꦶꦱ꧀/ꦮꦁꦏꦶꦔꦤ꧀

Keris terdiri dari tiga bagian; bilah (wilah), gagang (hulu) dan sarung (warangka)
Jenis Belati
Negara asal Jawa, Indonesia
Sejarah pemakaian
Masa penggunaan Kemaharajaan Majapahit, Kerajaan Sunda, Kerajaan Singhasari, Kesultanan Palembang Darussalam, Kesultanan Malaka, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kesultanan Brunei, Semenanjung Malaka, Kepulauan Indonesia[4]
Digunakan oleh Suku Jawa, Suku Bali, Suku Sunda, Suku Melayu, Suku Banjar, Suku Madura, Suku Bugis, Suku Mandar, Suku Toraja, Suku Kutai dan Suku Makassar
Pada perang Pertempuran Genter, Ekspedisi Pamalayu, Invasi Mongol ke Jawa, Perang Bubat, Perang Paregreg, Penyerbuan Batavia, Perang Diponegoro, Revolusi Nasional Indonesia
Sejarah produksi
Perancang Suku Jawa
Varian Kalis, Badik, Kerambit, Chundrik[5]
Spesifikasi
Tipe pedang Pisau tajam bermata ganda besi nikel atau baja
Tipe gagang Gading, tulang, tanduk, kayu atau logam. Terkadang dilapisi dengan emas atau perak dan dihiasi dengan batu permata
Jenis sarung Bingkai kayu yang dilapisi dan dihias dengan gading atau logam (emas, perak, tembaga, besi, kuningan, atau baja)
Keris
Keris ditetapkan sebagai Karya Agung Warisan Budaya Kemanusiaan Lisan dan non bendawi yang berasal dari Indonesia oleh UNESCO.
NegaraIndonesia
KriteriaTraditional
Referensi112
KawasanAsia dan Pasifik
Sejarah Inskripsi
Inskripsi2008 (sesi ke-3)
DaftarRepresentatif

Keris (bahasa Inggris: Kris) adalah senjata khas yang berkelok-kelok atau asimetri yang termasuk dalam golongan senjata tikam yang berasal dari Indonesia. Baik sebagai senjata maupun objek spiritual, keris dihormati dan dianggap memiliki kekuatan yang magis. Awal mula keris diketahui berasal dan menyebar dari pulau Jawa ke seluruh bagian Nusantara dan wilayah Asia Tenggara secara umum.


Keris merupakan senjata tajam golongan belati dari suku Jawa yang memiliki ragam fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, sering kali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah.

Keris bagi orang Jawa adalah senjata pamungkas/terakhir setelah pedang, tombak, dan panah. Sejatinya keris bukanlah senjata utama dalam peperangan tetapi juga senjata yang disukai untuk dibawa pergi kemanapun. Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel atau peperangan,[6] sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini dan penggunaan perkembangan keris dari waktu ke waktu orang Jawa mengubahnya menjadi benda yang memiliki filosofi pengajaran hidup bagi pemiliknya, sebagai identitas diri, pesan moral, simbol cerminan diri, ketentraman, kesabaran, harapan/impian keinginan, serta pengingat diri atau pagar nasihat bagi pemiliknya agar selalu damai tenang hatinya tidak mudah emosi, harus selalu berjiwa bersih dan bersahaja, semua itu di tuangkan ke dalam simbol simbol yang terdapat di setiap bentuk keris dan rupa rupa pamor keris. Keris juga merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.

Keris telah terdaftar dan diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia yang berasal dari Indonesia sejak 2005.

  1. ^ "Keris Indonesia". Kebudayaan.kemendikbud.go.id. Diakses tanggal 2020-08-22. 
  2. ^ Top 100 Cultural Wonders of Indonesia. Jakarta: Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia. 2015. ISBN 978-979-1274-66-1. 
  3. ^ Pires, Tomé (1990). The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East. New Delhi: Asian Educational Services. hlm. 179. ISBN 81-206-0535-7. 
  4. ^ Albert G Van Zonneveld (2002). Traditional Weapons of the Indonesian Archipelago. Koninklijk Instituut Voor Taal Land. ISBN 90-5450-004-2. 
  5. ^ James Richardson Logan (1853). The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, Volume 7. Miss. Press. hlm. 281. 
  6. ^ Darmosoegito, Ki. 1992. Bab Dhuwung. Djojobojo. Surabaya. Hal. 16.

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search