Ngabe Anom Soekah

Ngabe Anom Soekah
KelahiranSoekah
Belanda 1829, Pahandut, Bukit Rawi, Midden-Kahajan (Hindia Belanda)
KematianBelanda 1942, Bukit Ngalangkang, Kuala Kapuas (Hindia Belanda)[1]
Keturunan1. Stefanus Rasat
2. Djahit
3. Rikae
4. Inin
5. Darit
6. Buntit
AyahBayuh
IbuKambang
AgamaKaharingan

Ngabe Anom Soekah atau Ngabe Sukah adalah seorang Dayak Ngaju yang menjadi pemimpin (pambakal) di Pahandut pada 1908 di mana saat itu Pahandut masih menjadi bagian dari negara Hindia Belanda.

Sandung adalah tempat peletakan tulang manusia setelah dilakukan upacara Tiwah, di mana upacara Tiwah itu sendiri adalah upacara kematian dalam agama Kaharingan.
Sandung Ngabe Soekah.

Ayahnya bernama Bayuh, dan ibunya bernama Kambang. Orangtua Ngabe Anom Soekah berasal dari Lewu (kampung) Bukit Rawi. Dulu dikenal sebagai Lewu Barah. Kampung ini pinggiran Sungai Kahayan. Ayahnya asli orang Bukit Rawi, sedangkan istrinya berasal dari Lewu Kanamit atau Pulau Telo (Kapuas).

Disebut lewu Barah karena tempat itu berpasir sehingga terasa panas didiami. Barah adalah kata benda dalam Bahasa Ngaju yang berarti bara. Barah umumnya berasal dari kayu-kayu yang dibakar. Dulu, warga Bukit Rawi tinggal di lewu Barah, kemudian mereka pindah ke area yang tanahnya bagus dan baik untuk berladang. Dikarenakan orang-orang berladang di sana banyak, tempat itu menjadi rami atau rawi, sehingga disebut Bukit Rawi. Bukit Rawi berarti bukit yang ramai (untuk berladang).

Desa Bukit Rawi terletak di Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau. Kawasan ini berjarak sekitar 21 kilometer dari Kota Palangka Raya. Karena lewu Bukit Rawi dulu dikenal dengan lewu Barah, maka temenggung yang memimpin Bukit Rawi dikenal sebagai Tamanggung Bukit Rawi atau Tamanggung Lawak Barah[2] atau Toemenggoeng Soera Djaja.[3]

Kala itu, Bayuh dan Kambang merasa Lewu Barah sudah tidak memberikan harapan untuk meneruskan hidup. Mereka bersepakat mencari area baru untuk membangun dukuh dan memulai hidup. Selanjutnya dengan perahu, mereka pergi ke hilir.

Setelah mendayung sekian waktu, Bayuh dan Kambang sampai ke tempat yang menjadi pesanggarahan Soekarno saat ke Pahandut, ayam jago yang mereka bawa berkokok untuk pertama kalinya. Ayam itu mengeluarkan suara nyaring seraya mengarahkan kepalanya ke arah Pahandut. Bagi Bayuh Kambang, ayam memberikan pertanda baik. Ayam terus berkokok, dan pada kokokan yang ketujuh, ayam jago mengeluarkannya persis di sekitar pelabuhan Rambang. Sesuai petenung, tempat itu baik untuk dijadikan pemukiman.

Di area ayam berkokok terdapat areal tanah tinggi yang disebut Bukit Manyuluh. Kawasan ini terbentang dari sekitar Pasanggarahan tempat Soekarno menginap saat datang ke Pahandut (di Jalan Kalimantan) menuju ke Pahandut lama (area Pelabuhan Rambang). Area itu terlihat cocok untuk ditinggali, karena tinggi dan terhindar dari banjir.

Tidak jauh dari kawasan itu, terdapat dataran pematang (tanah tinggi) yang membentang dari sungai Kahayan menuju sungai Rungan yang disebut Tangking atau Tangkiling, terkenal dengan sebutan Bukit Jekan dengan tanah berbukit di Tangkiling pada kawasan tepi barat sungai Kahayan, sedangkan di bagian Timur, terdapat danau besar yang dinamakan Danau Tundai dengan jumlah dan jenis ikan yang melimpah. Setelah mengetahui sumber daya yang begitu baik terbentang di seputar kawasan itu, Bayuh dan Kambang bersepakat menghentikan pencarian mereka. Mereka memutuskan membangun tempat tinggal di sini, tempat yang selanjutnya dikenal sebagai dukuh Bayuh.

  1. ^ "SANDUNG NGABE SOEKAH". Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olah Raga Kota Palangka Raya. Diakses tanggal 2023-04-06. 
  2. ^ Usop, KMA (1996), Pakat Dayak, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Batang Garing, hal 37
  3. ^ https://books.google.co.id/books?id=TVZVAAAAcAAJ&dq=Kjahi%20Matsaleh&hl=id&pg=PA179#v=onepage&q=Kjahi%20Matsaleh&f=false

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search