Sunda Wiwitan

Kembang Cakra merupakan simbol Sunda Wiwitan.
JenisAgama asli Nusantara
Kitab suciKitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian
TeologiMonoteisme
PerhimpunanPaguyuban Adat Karuhun Urang[1]
Wilayah • Jawa Barat

 • Banten
Bahasa
Kantor pusatJawa Barat
Jumlah pengikut± 50.000 jiwa[2][3]
Kata 'Hyang' dalam Aksara Sunda merupakan Sang Hyang Kersa.

Sunda Wiwitan (bahasa Sunda: ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮝᮤᮝᮤᮒᮔ᮪) adalah ajaran agama dengan unsur monoteisme purba, yang memiliki konsep kepercayaan tertinggi terhadap Sang Pencipta Yang Maha Kuasa yang tak berwujud dan disebut "Sang Hyang Kersa" yang setara dengan "Tuhan Yang Maha Esa" di dalam ideologi Pancasila.[4] Ajaran ini juga disebut-sebut sebagai kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur yang bersatu dengan alam, yang dianut oleh masyarakat asli suku Sunda.[5][6]

Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti orang Kanekes di Kabupaten Lebak, Banten dan sebagian kecil orang Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.[7] Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.

Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang menghormati arwah leluhur. Hanya dalam perkembangannya, kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan sampai pada Islam.[8] Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".

Hingga kini perlakuan diskriminasi masih dialami oleh para penganut agama Sunda Wiwitan, seperti penyegelan area pemakaman para penganut Sunda Wiwitan pada 20 Juli 2020 yang dilakukan oleh petugas Satpol PP bersama sejumlah massa di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Penyegelan ini dilakukan lantaran bangunan pemakaman penganut Sunda Wiwitan dianggap sebuah tugu oleh pemerintah setempat, karena adanya bangunan dari batu yang menjulang, sehingga perlu adanya surat IMB dan juga pemerintah setempat mencurigai para penganut Sunda Wiwitan menyembah batu. Salah satu tokoh penganut Sunda Wiwitan, Juwita Djati Kusuma Putri menyatakan bahwa bangunan tersebut bukan tugu, tidak digunakan sebagai tempat pemujaan ataupun sesembahan, bangunan tersebut sejatinya adalah tempat pemakaman bagi penganut agama Sunda Wiwitan yang sudah ada disana selama bertahun-tahun, dimana ajaran Sunda Wiwitan sendiri sudah lebih dulu ada bahkan sebelum agama lain masuk ke tanah Sunda.[9]

  1. ^ "Sunda Wiwitan Disebut Telah Terdaftar di Pemerintah sejak 1982". nasional.kompas.com. Diakses tanggal 13 Juli 2023. 
  2. ^ "Suku Badui". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2023-03-04. 
  3. ^ "Suku Sunda". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2023-03-31. 
  4. ^ "Mengenal Sunda Wiwitan, Ajaran Leluhur Masyarakat Sunda yang Terjaga hingga Kini". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). 2020-07-28. Diakses tanggal 2023-04-09. 
  5. ^ Ekadjati, Edi S., "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah", Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, halaman 72-73
  6. ^ Muttaqien, Zaenal (2019-12-31). "Peran Perempuan dalam Tradisi Sunda Wiwitan". Khazanah Theologia. 1 (1): 23–39. doi:10.15575/kt.v1i1.7123. ISSN 2715-9701. 
  7. ^ Redaksi, Tim. "Penganut Sunda Wiwitan: Kami Tetap Islam". JPNN.com. Diakses tanggal 12 April 2022. 
  8. ^ Djajadiningrat, 1936: 11-12
  9. ^ Polemik Penyegelan Makam Sunda Wiwitan, diakses tanggal 2023-04-28 

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search