Kekerasan di sekolah

Demonstrasi siswa di St. Paul, Minnesota, menentang kekerasan dengan senjata api di sekolah

Kekerasan di sekolah merupakan tindak kekerasan yang melibatkan murid, guru, dan staf sekolah yang dapat mengganggu proses pengajaran dan pembelajaran.[1] Dua peneliti Universitas California, Santa Barbara, Michael Furlong dan Gale Morrison, mendefinisikan kekerasan di sekolah sebagai "konstruksi multi faset yang melibatkan tindakan kriminal dan agresi di sekolah yang menghambat perkembangan dan pembelajaran, serta merusak iklim sekolah".[2] Pelaku dan korban kekerasan dapat berasal dari kalangan murid ataupun guru dan staf sekolah lainnya. Kekerasan dapat terjadi antar siswa maupun orang dewasa di sekolah terhadap siswa dan sebaliknya. Kekerasan dapat mengambil tempat di dalam maupun di luar kelas, di lingkungan sekitar sekolah, misalnya di area bermain dan fasilitas olahraga, serta di jalan menuju ke sekolah. Kekerasan di sekolah merupakan isu yang terkait dengan kesehatan masyarakat, hak asasi manusia, dan masalah sosial.[3] Menurut Peter K. Smith, guru besar di Goldsmiths College, London, kekerasan di sekolah tak hanya berdampak negatif terhadap prestasi dan kehidupan siswa, tapi juga merusak nilai-nilai demokrasi dan pendidikan kewarganegaraan.[4]

Tindak kekerasan dapat digolongkan menjadi enam tipe, yaitu penganiayaan (kekerasan fisik, seksual, dan psikologis), penindasan (fisik dan virtual), kekerasan remaja, kekerasan dalam hubungan (kekerasan dalam pacaran dan kekerasan dalam rumah tangga), kekerasan seksual, serta kekerasan psikologis. Di tingkat internasional, angka jumlah kekerasan di sekolah cukup tinggi. Diperkirakan sekitar 1 miliar anak berusia 2-17 tahun pernah menjadi korban kekerasan fisik, seksual, dan kekerasan serta penelantaran emosional di lingkungan sekolah.[3] Berdasarkan data International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis pada 2015, sebanyak 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah,[5] menjadikan Indonesia salah satu negara dengan jumlah kasus tertinggi di Asia.[6]

Kekerasan dan penindasan di sekolah dapat menimbulkan sejumlah dampak jangka pendek dan panjang pada korban, baik pada aspek akademik, kesehatan, kesehatan mental, masalah interpersonal, perilaku, maupun psikososial.[7] Menurut studi di Universitas Turku pada 2005, anak-anak korban kekerasan dapat mengalami depresi, pikiran kekerasan, bunuh diri, kecemasan, harga diri yang rendah, dan masalah psikologis lainnya. Untuk menghindari konfrontasi lebih lanjut, korban mungkin juga menghindari berkomunikasi dengan siswa-siswa lainnya, sehingga akan memengaruhi kemampuan mereka dalam mengembangkan keterampilan sosial dan interaksi antar manusia.[8]

Kekerasan juga memengaruhi sekolah dalam beberapa hal, antara lain reputasi dan kepercayaan orang tua yang menurun.[8] Orang tua siswa bisa memutuskan memindahkan anak-anak mereka ke sekolah lain dan ini berdampak pada penurunan pemasukan sekolah.[8] Di Amerika Serikat, sekolah yang pernah mengalami kasus kekerasan ekstrem juga harus menganggarkan dana untuk mengadakan alat pendeteksi logam dan mempekerjakan satuan keamanan khusus.[8] Bagi guru, waktu mereka untuk fokus mengajar menjadi berkurang. Jika kekerasan terjadi dalam jangka panjang, proses pengajaran dan pembelajaran akan terganggu dan akan memengaruhi prestasi akademik sekolah.[8]

Kekerasan di sekolah merupakan isu yang kompleks dan faktor penyebabnya bisa berlapis.[9] Menurut peneliti, kesenjangan sosial, kemiskinan ekstrem, dan peminggiran sosial (eksklusi sosial) menjadi beberapa pemicu tindak kekerasan di sekolah.[10] Hal ini dapat diperparah dengan kebijakan pemerintah, misalnya legalisasi senjata api di Amerika Serikat yang dapat mengakibatkan kasus penyalahgunaan senjata di kalangan remaja.[9] Penegakan aturan yang tidak konsisten dan pengaruh media juga dapat menjadi pendorong.[11][9] Kekerasan di sekolah menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan yang dapat merusak iklim sekolah dan melanggar hak siswa untuk belajar di lingkungan yang aman.[12]

  1. ^ Centers for Disease Control and Prevention 2020.
  2. ^ Wat 2007.
  3. ^ a b Ferrara et al. 2019, hlm. 1.
  4. ^ Smith 2004.
  5. ^ Hartik, Andi (2016-11-29). "84 Persen Siswa Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah". Kompas.com. Diakses tanggal 2021-06-05. 
  6. ^ Setyawan, Davit (2017-02-21). "Indonesia Peringkat Tertinggi Kasus Kekerasan di Sekolah". Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Diakses tanggal 2021-06-05. 
  7. ^ Maynard et al. 2016, hlm. 2.
  8. ^ a b c d e Priddy, Brenda. "Consequences of School Violence". The Classroom (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-27. 
  9. ^ a b c Constitutional Rights Foundation (2021). "Causes of school violence". www.crf-usa.org. Diakses tanggal 2021-06-05. 
  10. ^ Kramer, Ronald C. (2000). "Poverty, inequality, and youth violence". University of Michigan. Diakses tanggal 2021-06-25. 
  11. ^ Astuti, Ponny Retno (2008). Meredam bullying: 3 cara efektif menanggulangi kekerasan pada anak. Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-025-464-0. 
  12. ^ Ferrara et al. 2019, hlm. 2.

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search