Krisis finansial Asia 1997

Negara-negara yang terkena dampak krisis keuangan Asia 1997

Krisis keuangan Asia adalah periode krisis keuangan yang menerpa hampir seluruh Asia Tenggara pada Juli 1997 dan menimbulkan kepanikan bahkan ekonomi dunia akan runtuh akibat penularan keuangan.

Krisis ini bermula di Thailand (dikenal dengan nama krisis tom yum kung di Thailand; Thai: วิกฤตต้มยำกุ้ง) seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand terpaksa mengambangkan baht karena sedikitnya valuta asing yang dapat mempertahankan jangkarnya ke dolar Amerika Serikat. Waktu itu, Thailand menanggung beban utang luar negeri yang besar sampai-sampai negara ini dapat dinyatakan bangkrut sebelum nilai mata uangnya jatuh.[1] Saat krisis ini menyebar, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara dan Jepang ikut turun,[2] bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh, dan utang swastanya naik drastis.[3]

Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah. Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Filipina juga terdampak oleh turunnya nilai mata uang. Brunei, Tiongkok, Singapura, Taiwan, dan Vietnam tidak kentara dampaknya, tetapi sama-sama merasakan turunnya permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia.

Rasio utang luar negeri terhadap PDB naik dari 100% menjadi 167% di empat negara besar ASEAN pada tahun 1993–96, lalu melonjak hingga 180% pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Di Korea Selatan, rasionya naik dari 13% menjadi 21%, lalu memuncak di angka 40%. Negara industri baru lainnya masih lebih baik. Kenaikan rasio pembayaran utang ekspor hanya dialami oleh Thailand dan Korea Selatan.[4]

Meski sebagian besar negara di Asia memiliki kebijakan fiskal yang bagus, Dana Moneter Internasional (IMF) turun tangan melalui program senilai US$40 miliar untuk menstabilkan mata uang Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, negara-negara yang terdampak parah dalam krisis ini. Upaya menghambat krisis ekonomi global gagal menstabilkan situasi dalam negeri di Indonesia. Setelah 31 tahun berkuasa, Presiden Soeharto terpaksa mundur pada tanggal 21 Mei 1998 di bawah tekanan demonstran massa serta aspirasi rakyat NKRI yang mengeluh kebijakan kenaikan harga secara tajam akibat devaluasi rupiah. Dampak krisis masih terasa hingga 1998. Tahun 1998, pertumbuhan Filipina anjlok hingga nol persen. Hanya Singapura dan Taiwan yang agak terhindar dari krisis ini, tetapi keduanya sempat mengalami tekanan besar; Singapura ikut tertekan karena ukuran dan letak geografisnya antara Malaysia dan Indonesia. Tahun 1999, sejumlah analis mengamati bahwa ekonomi di Asia mulai pulih.[5] Setelah krisis tahun 1997, ekonomi di Asia mulai stabil di bawah pengawasan keuangan.[6]

Sebelum tahun 1999, Asia menarik hampir separuh arus modal ke negara berkembang. Negara-negara Asia Tenggara mempertahankan nilai tukar tinggi demi menarik investor asing yang mencari tingkat pengembalian saham tinggi. Hasilnya, Asia Tenggara menerima arus uang yang besar dan mengalami lonjakan harga aset. Pada saat yang sama, Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Korea Selatan mengalami tingkat pertumbuhan tinggi, PDB 8–12%, pada akhir 1980-an dan awal 1993. Prestasi ini diakui oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia dan dijuluki sebagai "keajaiban ekonomi Asia".

  1. ^ "Asian Financial Crisis: When the World Started to Melt". EuroMoney. Diakses tanggal 16 November 2015. ((Perlu berlangganan (help)). 
  2. ^ Yamazawa, Ippei (September 1998). "The Asian Economic Crisis and Japan" (PDF). The Developing Economies. 36 (3): 332–351. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 16 November 2015. 
  3. ^ Kaufman: pp. 195–6
  4. ^ "Key Indicators of Developing Asian and Pacific Countries 2003". Asian Development Bank. August 2003. Diakses tanggal 16 November 2015. 
  5. ^ Pempel: pp 118–143
  6. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-10-18. Diakses tanggal 2012-10-18. 

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search