Perceraian

Perceraian adalah kebalikan dari pernikahan dan berakhirnya suatu perkawinan. Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri oleh suami atau hakim yang mencerai, keputusan hakim tersebut dengan menjalankan prosedur proses alur persidangan berawal dari tahapan Majelis Hakim Pembacaan gugatan, Jawaban tergugat, Pembuktian dari penggugat dan tergugat hingga putusan hakim sampai Mahkamah Syar'iy (Pengadilan Agama) memberikan dokumen keputusan perceraian hingga akta cerai. Seperti disebabkan oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan kewajiban peran masing-masing sesuai syariat Agama. Perceraian dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang kemudian hidup terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku.[1] Keharusan perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan agama ini sejalan dengan ketetapan syari’at Islam bahwa madharat haruslah dihilangkan, dan turunan dari qaidah tersebut apabila terjadi perbenturan antara maslahat dan madharat maka maslahat yang lebih diutamakan.[2] Artinya tugas dan fungsi hakim pengadilan agama merupakan tugas suci, dan dalam hal perkara perceraian hakim pengadilan agama bertugas untuk mewujudkan kembali keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.[3] Dalam Islam bahwa perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT.

Alur proses persidangan perkara permohonan perceraian di pengadilan agama, "Majelis hakim berupaya mendamaikan pengugat dan tergugat, namun bilamana penggugat meminta majelis hakim untuk melanjutkan perkara tersebut, maka majelis hakim membacakan gugatan penggugat disaksikan tergugat dan pengugat selanjutnya tergugat menyampaikan sanggahan jawaban secara tertulis atau langsung, replik, duplik, dilanjutkan pembuktian dalil-dalil penggugat kepada tergugat, namun bilamana dalil-dalil tersebut tidak dapat dibuktikan maka Majelis Hakim menolak gugatan pengugat tersebut, jika dapat dibuktikan maka Majelis Hakin melakukan pembuktian atas jawaban sanggahan tergugat serta melanjutkan alur proses melanjutkan hingga putusan Hakim,"[4] yang seadil-adilnya tanpa meninggalkan kode etik dan pedoman Perilaku Hakim[5]. Tindak pidana penerbitan Akta Cerai adalah penerbitan tanpa mengacu pada surat-surat yang dilampirkan pada Putusan Hakim. Seperti disebabkan oleh tindak pidana UU 1/2023 KUHP pasal 263, 264, 391, 392, 266, 274, 394 sampai dengan pasal 276. Surat dalam hal ini adalah segala surat yang tertulis dengan tangan dicetak maupun ditulis memakai mesin tik dan lain sebagainya[6]

  1. ^ Fachrina, Rinaldi Eka Putra (2013). "Upaya Pencegahan Perceraian Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat". Antropologi Indonesia. 34 (2): 102. ISSN 1693-167X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-18. Diakses tanggal 2020-11-19. 
  2. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-19. 
  3. ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/06/01/hakikat-perceraian-berdasarkan-ketentuan-hukum-islam-di-indonesia/
  4. ^ https://hukumkeluarga.id/proses-perceraian-di-pengadilan-agama/
  5. ^ https://www.hukumonline.com/klinik/a/10-prinsip-kode-etik-hakim-yuk-cari-tahu-di-sini-lt630335ad22e26/
  6. ^ https://www.hukumonline.com/klinik/a/unsur-unsur-dan-bentuk-pemalsuan-dokumen-lt54340fa96fb6c

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search